Kamis, 15 November 2012

mBah Haryo Bahak, Tokoh Antagonis dari Dunia Kethoprak

Haryo Bahak, Tokoh Antagonis dari dunia Kethoprak
CATATAN | Dari Bondan Nusantara, Saya mendapat kabar Dirjo Wiyono alias Dirjo Tambur alias suka disebut Haryo Bahak, meninggal dunia Kamis 15 Nopember 2012, jam 17. 00. Beliau akan dimakamkan Hari Jumat 16 Nopember 2012, Jam 14. 00, dari rumah beliau di Janturan, Umbulharjo, Yogyakarta. Beliau bukan “tokoh Indonesia”, tapi beliau sosok seniman kethoprak yang baik dan menggetarkan. SEMPAT menikmati masa kejayaan ketoprak, Dirjo Wiyono (79) atau lebih dikenal dengan Dirjo Tambur, tidak pernah berpaling dari kesenian yang membesarkannya. Sosok yang dikenal piawai memainkan tokoh antagonis itu, tetap menanamkan cita-citanya dengan membimbing ketoprak tanpa bayaran. Masih membekas dalam kenangan bagaimana Dirjo yang hanya, menanggapi santai ketika, sepulang dari pasar istrinya Sri Supadmi agak ngambek. Hampir setiap orang, terutama ibu-ibu di pasar, membicarakan tingkah polah suaminya sebagai tokoh antagonis Ariyo Bahak. Risih Mereka mengucapkan sumpah dan kebencian yang membuat, Supadmi risih. Supadmi sendiri tak berani menyanggah omongan miring itu, begitu juga para ibu tidak tahu bahwa orang yang mereka bicarakan adalah suaminya. “Mbok nek dapuk ketoprak ki ora sah koyo ngono kuwi. Wong-wong neng pasar ngrasani, kok wong koyo ngono ora ndang mati,” tutur Dirjo menceritakan protes istrinya terkait efek emosi yang dari pemeranannya melalui siaran ketoprak yang ditayangkan di TVRI Yogyakarta era 1980-an. Tidak cukup sampai di situ, Dirjo bahkan pernah merasakan langsung kebencian masyarakat saat ia pentas di Ungaran. Selepas, pentas puluhan orang dengan batu dan pentungan merangsek ke panggung. “Saya mau dibunuh orang selapangan. Mereka teriak, ngendi wonge, ngendi wonge pateni wae. Terus saya disembunyikan di balik panggung. Kalau tidak tahu jadi apa saya,” kata Dirjo saat ditemui di rumahnya di kawasan Janturan, Yogyakarta. Pria kelahiran 21 Januari 1933 itu mengakui, bahwa apa yang dilakukannya sebagai pemain ketoprak membuat banyak orang benci. Ia tidak pernah lepas dari tokoh penghasut, provokator, dan licik. Dan semua perilaku itu dilakukannya untuk kepentingan pribadi. Entah mengapa, citra Dirjo sebagai antagonis itu, ternyata tidak lepas dari tokoh idolanya semasa kecil. Semasa SMP, ia terpesona dengan gaya pemeranan Roekiman dari Ketoprak Krida Mardi. “Roekiman itu yang perannya seperti itu, suka mengajak jelek orang lain, menipu,” ujar peraih Bentara Award untuk seniman ketoprak. Meski begitu, pada awal terjun ke dunia ketoprak, sekitar 1963, ia justru sering menjadi tokoh protagonis. “Awalnya malah jadi orang yang suka mengajak kebaikan, tapi malah akhirnya jadi kebalikannya,” imbuhnya. Masa Kejayaan Masa-masa keemasan dunia ketoprak dirasakan Dirjo pada 1984-1995. Kala itu, selain main bersama grupnya sendiri, Agung Budiaji, ia juga laris dicomot grup-grup lain. Pada masa itu, lima bulan sebelum pentas, jadwalnya sudah terisi, tanpa ada sela. Bahkan, orang-orang yang ingin nanggap kadang harus mengalah menyesuaikan jadwal Dirjo. Kelompoknya sendiri pun yang bermain dengan konsep tobongan, juga sedang laris. Dalam semalam, bahkan pernah diminta pentas di tiga tempat berbeda. Akhirnya karena hanya beranggota 20 orang, Agung Budiaji pun juga mencomot pemain dari grup lain. Masalah bayaran, Dirjo pun pernah mendapatkan upah yang lebih dari cukup. Pada pertengahan 1980- an, saat para pemain rata-rata mendapat upah Rp 5.000 hingga Rp 20.000, ia sudah dibayar hingga Rp 200 ribu. Bahkan, ketika ada tantangan untuk menjadi dagelan, ia pernah mendapatkan bayaran Rp 1 juta. “Itu di Tawangmangu. Kalau tidak salah tahun 1987. Wong saya ini bukan pelawak kok disuruh ndagel ya tidak mau. Niat saya itu ngasih harga sejuta biar tidak jadi ditanggap, eh la kok ya mau juga,” cerita Dirjo sembari menghisap rokok putihnya. Dengan tabungan masa keemasan, Dirjo bisa menyekolahkan ketiga anaknya hingga lulus sarjana, dan membuatkan rumah untuk mereka. Bahkan ia bisa membiayai ketiga anak adiknya, Ponirah, yang ditinggal mati suaminya Andreas Suyadi sejak kanak kanak. “Syukurnya, anak-anak saya maupun adik saya sekarang sudah mapan, ada yang jadi dokter, wirausaha, pegawai negeri,” ungkapnya. Dengan kondisi itu ia sudah tidak risau, meski penghasilannya sebagai pemain ketoprak jauh menurun. Saat ini dalam sebulan Dirjo masih mendapat tawaran mangggung 4-5 kali. Bayaranya pun bervariasi antara Rp 500-Rp 700 ribu. “Tapi kalau ada Rp 400 ribu ya tidak apa-apa. Saya nyadari sudah tua,” katanya. Komunitas Tukang Becak Di masa tuanya, Dirjo pun memahami bahwa tidak selamanya hidup hanya untuk mencari materi. Seni ketoprak baginya bukan hanya kesenian yang pernah memberinya kesejahteraan. Namun, ia merasa punya tanggung jawab untuk melestarikan ketoprak di Yogyakarta. Tantangan itu tentu sangat besar mengingat masyarakat saat ini begitu menghamba pada tayangan televisi yang kurang mendidik. Oleh karena itu, ia pun menyiapkan jalan idealisme tersebut sejak 1998. Saat itu kerusuhan melanda kota-kota besar di Indonesia, sehingga ia ingin menjaga Yogyakarta tetap aman melalui komunitas becak. Di komunitas ini, ia memulai penyadaran dari hal kecil. Misalnya, mengajak tukang becak untuk tidak mempermainkan trayek dan harga. “Kalau ada turis, terus jalannya muter, biar dibayar mahal, itu saya larang. Jujur bakal tinemu. Kalian hidup sebagai tukang becak sudah sengsara, apa nanti setelah mati juga mau sengsara juga,” Dirjo menuturkan nasihatnya. Dari sanalah kemudian lahir ketoprak Wahyu Mataram. Anggota kelompok tersebut, kata Dirjo paling muda berusia 50 tahun. Setiap Senin malam mereka aktif berlatih di Desa Plakaran, Banguntapan Bantul. Kelompok ini bahkan pada festival ketoprak Syawalan DIYbaru-baru ini meraih juara pertama. “Mereka kemarin urunan nyatus ewu, buat pentas. Sudah saya penging, tidak usah ngoyo tapi ya tidak mau. Katanya wong cuma setahun sekali saja,” tuturnya. Selain itu Dirjo juga rutin melatih beberapa kelompok ketoprak tingkat desa atau dusun tanpa bayaran. “Ya di Kotagede, di Umbulharjo ada dua, jadi saya masih sering keliling. Cita-cita saya, jangan sampai ketoprak itu hilang,” pungkasnya. (Sony Wibisono-77) | Diulik dari Harian Suara Merdeka, Semarang, 5 Oktober 2012 Selamat jalan mbah Dirjo…namamu abadi di hati pecinta seni kethoprak.